Mencari Identitas Melayu III

Rabu, 11 November 2009

Angin “Melayu” di Riau semakin deras. Seluruh pelosok daerah seakan-akan menggemakan keinginan untuk menjadikan Melayu sebagai lambang identitas. Menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu. Para pejabat semakin bersemangat membudayakan aksesoris Melayu disetiap ceremonial resmi. Tampil dengan gagah sebagai orang Melayu yang sepintas sangat kental. Tampil dengan dinamika warna-warna yang eksklusif. Penampilan kesenian Melayu pada setiap acara juga hadir dengan mengikuti tradisi lama. Setiap menyambut para tamu, selalu disambut dengan penampilan silat, yang nota benenya sebagai seni beladiri. Pesan apa yang perlu disampaikan dalam penampilan silat itu kepada para tamu terhormat?

Sebagai orang Melayu, Penulis ingin untuk memahami filosofis Budaya Melayu dalam kontek yang sebenarnya dalam setiap elemen kehidupan. Selama ini, selalu diopinikan, bahwa Melayu seakan-akan sebatas bentuk pakaian, tari, dialek bahasa dan “budaya tradisional” (dalam tanda petik). Para pejabat selalu mengajak rakyat untuk terus mempelajari dan memahami budaya Melayu dengan baik, tapi tidak jelas dalam bentuk apa. Dilain pihak, himbauan untuk mengangkat budaya Melayu lebih banyak tertuju pada asesoris-asesoris yang menempel pada pakaian dan bangunan, dengan arti ingin menampilkan kembali pernik-pernik budaya yang sudah lama ditinggalkan. Wilayah ke-melayuan seakan terbatas pada penampilan-penampilan pisik yang mudah dilihat dengan mata telanjang, apakah bentuk pakaian, kemeriahan, acara yang menggembirakan, kemewahan, kegagahan dan tentu saja berharga mahal. Kesenian Melayu, seakan hanya berbentuk joget, berbalas pantun, atau tari-tari yang telah populer sejak dulu kala.

Masyarakat memahami, bahwa budaya Melayu yang ingin dijadikan sebagai identitas, seolah-olah hanya untuk wilayah Riau yang secara historis telah Melayu sejak lama. Perlu dipertanyakan, pemikiran ke-melayu-an, apakah untuk pembinaan kedalam (untuk masyarakat Riau), atau untuk popularitas keluar. Penulis belum banyak melihat pemikiran ke-melayu-an berdasarkan filosofis yang menglobal, dalam arti tidak hanya berpikir lokal tapi lebih luas dalam wilayah kehidupan umat manusia. Putra Melayu belum nampak tampil sebagai penggagas budaya yang lebih universal dan dirasakan paling tidak oleh masyarakat nusantara ini. Kehebatan putra Melayu seakan hanya untuk Riau saja, belum dirasakan oleh seluruh pelaku-pelaku budaya nusantara. Kehebatan “melayu”, belum dalam konteks kekinian, baik dalam konsep budaya untuk kepentingan pariwisata, ataupun dalam bentuk pemikiran dan filosofi kehidupan.

Mungkin sudah tiba saatnya, para budayawan dan pemikir-pemikir Melayu bersuara di luar dan keluar dari Riau. Rasa kedaerahan yang sempit, sudah harus ditinggalkan, dan berangkat menuju wilayah yang lebih luas. “Melayu”, sebaiknya diperkenalkan oleh orang-orang Melayu yang cerdas di luar wilayah Riau, yang berbicara dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Pakar-pakar budaya Melayu, sedapat mungkin mencari identitas melalui produk-produk yang memiliki nilai budaya tinggi dan memiliki nilai jual dalam ranah wisata. Budaya-budaya lama yang secara filosofis mempunyai makna, perlu ditampilkan kembali dengan penampilan-penampilan yang lebih menarik. Seperti kesenian celempong (di Kampar) misalnya, yang selama ini ditampilkan oleh orang-orang yang sudah berumur tua, apa adanya, seadanya, kini perlu dipoles dengan menampilkan orang-orang muda yang energik, gagah dan meyakinkan. Notasi-notasi musik yang baku, sudah seharusnya dimasukkan ke dalam musik celempong, sehingga dengan notasi ini, pemain musik celempong tidak hanya bisa menampilkan instrumentalia lagu-lagu lama, tapi juga bisa mengiringi lagu-lagu populer masa kini. Dengan demikian, kesenian musik celempong, mampu mengiringi lagu-lagu moderen tanpa harus kehilangan identitas tradisionalnya.

Sebagai orang berbudaya, kita harus mengakui, bahwa negara Spanyol telah mampu melahirkan satu produk yang melanda dunia, yaitu rumah “bergaya Spanyol” dengan segala asesorisnya. Walaupun bangunan dengan arsitek moderen, namun nuansa Spanyolnya tetap kentara. Begitu juga Perancis bisa mengekpor budaya makan “ala Perancis” pada pesta perkawinan atau perjamuan makan. Makan “ala Perancis”, telah membudaya di negeri yang telah memiliki budaya ini. “Gaun pengatin” gaya barat, juga telah membudaya pada setiap pesta pernikahan di negeri ini. Apakah kenyataan seperti ini sebagai pluralisme budaya, atau kelemahan budaya kita yang kehilangan makna dan eksistensi.

Dalam hal makanan, pengusaha rumah makan Minang dimana saja telah mampu memberi identitas “rumah makan Minang” dengan ciri-ciri yang sangat spesifik, yaitu keterampilan menghidangkan makanan dengan jumlah piring yang banyak dalam satu hidangan sekaligus, lengkap dengan menu serta aroma masakannya yang khas. Masakan “rendang”, “dendeng balado”, sudah merupakan menu khas Minang yang telah akrab di lidah dan terkenal di nusantara bahkan dunia. Dodol Garut juga merupakan produk yang sangat terkenal di Nusantara, sehingga bila ada orang datang dari Jakarta, pasti ditanya mana oleh-oleh ”dodol Garut”. Medan selalu terkenal dengan buah “salak”nya. Bukittingi dengan “sanjai”nya, Brastagi dengan jeruk “Brastagi”nya, Palembang dengan “Mpek-mpek”nya. Solok, Cianjur dan Ampek Angkek terkenal dengan mutu berasnya yang bagus. Dalam hal hasil produksi pertanian, atau peternakan, kita juga harus kagum kepada negara Thailand, yang telah mengeksport buah-buahan yang serba Bangkok; Jeruk Bangkok, durian Bangkok, mangga Bangkok, ayam Bangkok dan lain sebagainya.

Kita orang Melayu Riau, harus pula menemukan kembali atau melahirkan suatu produk, apakah dari hasil home industri yang berakar pada makanan atau kerajinan daerah Riau sendiri, atau dari produk pertanian yang secara langsung diolah oleh masyarakat Riau ( tidak termasuk perkebunan sawit, karet ) yang bisa dijual langsung dan dijadikan produk murni dari masyarakat tempatan, bukan hasil tiruan atau rekayasa dari hasil produk luar Melayu Riau, serta dijadikan sebagai lambang identitas Melayu Riau yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Untuk merealisasikan keinginan ini, sangat perlu dipikirkan lalu lintas produk, mulai dari hulu ( sumber ), produsen, sampai pada proses hilirnya (pemasarannya). Agar produk bisa menjangkau wilayah yang lebih luas, faktor bentuk, rasa, nilai seni, sistem pengepakan, penampilan, dan harga sangat berpengaruh. Sistem kemasan apa adanya, jelas tidak akan menimbulkan daya tarik. Kalaulah wilayah pemasaran produk melayu Riau hanya untuk orang Riau, jelas tidak memiliki surplus ekonomi bagi masyarakat.

Dalam dunia politik, kalau ingin terkenal di Indonesia, kita harus berada di Jakarta, berusaha ambil peran di lapangan apa saja. Habibi tak mungkin dikenal dunia, bila dia hanya menetap di tempat kelahirannya, tapi dia ke Jakarta, ke Bandung dan kemudian ke Jerman dan kembali ke tanah air sebagai orang pintar yang diakui. Mungkin salah satu penyebab kenapa putra Melayu Riau hampir tidak pernah menjadi menteri kabinet, adalah disebabkan karena putera Melayu Riau tidak begitu dikenal di wilayah pusat grafitasi kekuasaan ( Jakarta/ Indonesia ), meskipun putra Melayu Riau banyak yang hebat dan pintar. Bila melihat sejarah hidup dan perjuangan masyarakat Melayu Riau sejak dari dulu, kebanyakan orientasi hidupnya adalah berdagang secara amatir dengan daerah tujuan terbatas, seperti Malaysia, Singapura, Jambi dan lokal. Sedangkan untuk menyambung pendidikan lebih banyak di daerah sendiri atau ke Sumatera Barat. Masyarakat Melayu Riau sejak dahulu telah ditakdirkan bergelut dengan uang yang banyak ( ke Malaysia dan Singapura membawa karet / kopra ) dan bersenang-senang dengan uang itu sehingga lupa memikirkan pendidikan dan wilayah politik. Dalam guyonan masyarakat banyak, “untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga mencari uang”. Sudah menjadi kesimpulan umum, bahwa orang yang mempunyai banyak uang, tidak mau bersusah payah, dan cendrung menghindari usaha-usaha yang memiliki dinamika persaingan. Yang penting bagi mereka, “menang, kenyang dan senang”. Untuk mendapatkan yang diinginkan, mereka lebih suka mengeluarkan uang berapa saja dari pada harus berjuang dengan pretasi.

Konotasi-konotasi negatif, anekdot-anekdot miring yang dialamatkan kepada masyarakat melayu, seperti “masyarakat pemalas, suka makan enak, suka berkumpul-kumpul dengan keluarga, takut berjuang di luar, bagak di kampung, suka membanggakan diri, suka merajuk, dan lain-lainnya”, mesti dimentahkan dan dihilangkan dengan bukti sebaliknya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai positif dari tradisi selama ini.
Masyarakat Riau, sudah semestinya mempopularitaskan identitas “melayu” yang diperkenalkan oleh “putera melayu” kemana saja di pelosok dunia ini. Identitas ini harus merupakan bagian dari budaya yang akrab dan abadi dalam kehidupan, bukan untuk sementara dan bukan untuk kepentingan sesaat.

Dengan akan diadakannya Wilayah Perdagangan Bebas (FTZ), segala bentuk potensi andalan sudah dipersiapkan, baik produk asli daerah, hasil industri rumah tangga, kerajinan tangan, maupun produk-produk hasil teknologi masa kini yang memiliki nilai jual, bermutu dan mampu untuk bersaing di pasar bebas. Jangan sampai wilayah pasar bebas, dijadikan tempat penjualan produk luar negeri untuk masyarakat Riau yang terkenal dengan kekayaannya. Wilayah berpikir masyarakat Riau di zaman pasar bebas, bukan untuk mencari keuntungan secara pribadi, tapi untuk citra Riau selamanya yang berdampak positif bagi segenap lapisan masyarakat, baik ekonomi maupun pendidikan. Prinsip hidup maju sebaiknya mulai dibudayakan menggantikan prinsip hidup tradisional.

Masyarakat Riau tidak hanya bersiap untuk menghadapi Pasar Bebas di Riau, tapi harus mampu keluar dari Riau untuk mengisi kapling persaingan pasar bebas di negara manapun. Zona Pasar Bebas, bukan sekedar mencari keuntungan materi bagi semua pihak, tapi juga mencari pengalaman, hiburan, dan wisata (rekreasi). Sudah sepatutnya masyarakat Riau menggali kembali atau memoles segala potensi budaya dan daerah untuk dijual pada ranah wisata. Karena yang akan datang ke Riau adalah orang-orang luar negeri, sudah seharusnya Riau menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, sehingga tidak menjadi kendala bagi masyarakat Riau untuk menerima wisatawan atau untuk pergi ke luar negeri.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah masyarakat Melayu Riau dalam waktu dekat menjadi maju sembari tetap mengejar segala ketertinggalan selama ini?. Namun, walau bagaimana, identitas “Melayu” harus segera dicari dan dipatenkan, yaitu identitas yang asli dan murni milik masyarakat melayu Riau. Berpikir positif, hidup berkualitas, islami, memiliki semangat hidup yang tinggi, berpikir maju, tidak cengeng, tidak nyanyah, harus menjadi budaya dan filosofi hidup masyarakat Riau, sebagai lambang identitas Melayu bagi masyarakat dunia. Satu suku bangsa atau budaya, hanya bisa dikenal melalui pelaku budaya itu sendiri yang sanggup berperan secara nasional ataupun internasional.

© Drs. Najwan A. Shamad


0 Comments: