Mencari Identitas Melayu III

Rabu, 11 November 2009

Angin “Melayu” di Riau semakin deras. Seluruh pelosok daerah seakan-akan menggemakan keinginan untuk menjadikan Melayu sebagai lambang identitas. Menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu. Para pejabat semakin bersemangat membudayakan aksesoris Melayu disetiap ceremonial resmi. Tampil dengan gagah sebagai orang Melayu yang sepintas sangat kental. Tampil dengan dinamika warna-warna yang eksklusif. Penampilan kesenian Melayu pada setiap acara juga hadir dengan mengikuti tradisi lama. Setiap menyambut para tamu, selalu disambut dengan penampilan silat, yang nota benenya sebagai seni beladiri. Pesan apa yang perlu disampaikan dalam penampilan silat itu kepada para tamu terhormat?

Sebagai orang Melayu, Penulis ingin untuk memahami filosofis Budaya Melayu dalam kontek yang sebenarnya dalam setiap elemen kehidupan. Selama ini, selalu diopinikan, bahwa Melayu seakan-akan sebatas bentuk pakaian, tari, dialek bahasa dan “budaya tradisional” (dalam tanda petik). Para pejabat selalu mengajak rakyat untuk terus mempelajari dan memahami budaya Melayu dengan baik, tapi tidak jelas dalam bentuk apa. Dilain pihak, himbauan untuk mengangkat budaya Melayu lebih banyak tertuju pada asesoris-asesoris yang menempel pada pakaian dan bangunan, dengan arti ingin menampilkan kembali pernik-pernik budaya yang sudah lama ditinggalkan. Wilayah ke-melayuan seakan terbatas pada penampilan-penampilan pisik yang mudah dilihat dengan mata telanjang, apakah bentuk pakaian, kemeriahan, acara yang menggembirakan, kemewahan, kegagahan dan tentu saja berharga mahal. Kesenian Melayu, seakan hanya berbentuk joget, berbalas pantun, atau tari-tari yang telah populer sejak dulu kala.

Masyarakat memahami, bahwa budaya Melayu yang ingin dijadikan sebagai identitas, seolah-olah hanya untuk wilayah Riau yang secara historis telah Melayu sejak lama. Perlu dipertanyakan, pemikiran ke-melayu-an, apakah untuk pembinaan kedalam (untuk masyarakat Riau), atau untuk popularitas keluar. Penulis belum banyak melihat pemikiran ke-melayu-an berdasarkan filosofis yang menglobal, dalam arti tidak hanya berpikir lokal tapi lebih luas dalam wilayah kehidupan umat manusia. Putra Melayu belum nampak tampil sebagai penggagas budaya yang lebih universal dan dirasakan paling tidak oleh masyarakat nusantara ini. Kehebatan putra Melayu seakan hanya untuk Riau saja, belum dirasakan oleh seluruh pelaku-pelaku budaya nusantara. Kehebatan “melayu”, belum dalam konteks kekinian, baik dalam konsep budaya untuk kepentingan pariwisata, ataupun dalam bentuk pemikiran dan filosofi kehidupan.

Mungkin sudah tiba saatnya, para budayawan dan pemikir-pemikir Melayu bersuara di luar dan keluar dari Riau. Rasa kedaerahan yang sempit, sudah harus ditinggalkan, dan berangkat menuju wilayah yang lebih luas. “Melayu”, sebaiknya diperkenalkan oleh orang-orang Melayu yang cerdas di luar wilayah Riau, yang berbicara dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Pakar-pakar budaya Melayu, sedapat mungkin mencari identitas melalui produk-produk yang memiliki nilai budaya tinggi dan memiliki nilai jual dalam ranah wisata. Budaya-budaya lama yang secara filosofis mempunyai makna, perlu ditampilkan kembali dengan penampilan-penampilan yang lebih menarik. Seperti kesenian celempong (di Kampar) misalnya, yang selama ini ditampilkan oleh orang-orang yang sudah berumur tua, apa adanya, seadanya, kini perlu dipoles dengan menampilkan orang-orang muda yang energik, gagah dan meyakinkan. Notasi-notasi musik yang baku, sudah seharusnya dimasukkan ke dalam musik celempong, sehingga dengan notasi ini, pemain musik celempong tidak hanya bisa menampilkan instrumentalia lagu-lagu lama, tapi juga bisa mengiringi lagu-lagu populer masa kini. Dengan demikian, kesenian musik celempong, mampu mengiringi lagu-lagu moderen tanpa harus kehilangan identitas tradisionalnya.

Sebagai orang berbudaya, kita harus mengakui, bahwa negara Spanyol telah mampu melahirkan satu produk yang melanda dunia, yaitu rumah “bergaya Spanyol” dengan segala asesorisnya. Walaupun bangunan dengan arsitek moderen, namun nuansa Spanyolnya tetap kentara. Begitu juga Perancis bisa mengekpor budaya makan “ala Perancis” pada pesta perkawinan atau perjamuan makan. Makan “ala Perancis”, telah membudaya di negeri yang telah memiliki budaya ini. “Gaun pengatin” gaya barat, juga telah membudaya pada setiap pesta pernikahan di negeri ini. Apakah kenyataan seperti ini sebagai pluralisme budaya, atau kelemahan budaya kita yang kehilangan makna dan eksistensi.

Dalam hal makanan, pengusaha rumah makan Minang dimana saja telah mampu memberi identitas “rumah makan Minang” dengan ciri-ciri yang sangat spesifik, yaitu keterampilan menghidangkan makanan dengan jumlah piring yang banyak dalam satu hidangan sekaligus, lengkap dengan menu serta aroma masakannya yang khas. Masakan “rendang”, “dendeng balado”, sudah merupakan menu khas Minang yang telah akrab di lidah dan terkenal di nusantara bahkan dunia. Dodol Garut juga merupakan produk yang sangat terkenal di Nusantara, sehingga bila ada orang datang dari Jakarta, pasti ditanya mana oleh-oleh ”dodol Garut”. Medan selalu terkenal dengan buah “salak”nya. Bukittingi dengan “sanjai”nya, Brastagi dengan jeruk “Brastagi”nya, Palembang dengan “Mpek-mpek”nya. Solok, Cianjur dan Ampek Angkek terkenal dengan mutu berasnya yang bagus. Dalam hal hasil produksi pertanian, atau peternakan, kita juga harus kagum kepada negara Thailand, yang telah mengeksport buah-buahan yang serba Bangkok; Jeruk Bangkok, durian Bangkok, mangga Bangkok, ayam Bangkok dan lain sebagainya.

Kita orang Melayu Riau, harus pula menemukan kembali atau melahirkan suatu produk, apakah dari hasil home industri yang berakar pada makanan atau kerajinan daerah Riau sendiri, atau dari produk pertanian yang secara langsung diolah oleh masyarakat Riau ( tidak termasuk perkebunan sawit, karet ) yang bisa dijual langsung dan dijadikan produk murni dari masyarakat tempatan, bukan hasil tiruan atau rekayasa dari hasil produk luar Melayu Riau, serta dijadikan sebagai lambang identitas Melayu Riau yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Untuk merealisasikan keinginan ini, sangat perlu dipikirkan lalu lintas produk, mulai dari hulu ( sumber ), produsen, sampai pada proses hilirnya (pemasarannya). Agar produk bisa menjangkau wilayah yang lebih luas, faktor bentuk, rasa, nilai seni, sistem pengepakan, penampilan, dan harga sangat berpengaruh. Sistem kemasan apa adanya, jelas tidak akan menimbulkan daya tarik. Kalaulah wilayah pemasaran produk melayu Riau hanya untuk orang Riau, jelas tidak memiliki surplus ekonomi bagi masyarakat.

Dalam dunia politik, kalau ingin terkenal di Indonesia, kita harus berada di Jakarta, berusaha ambil peran di lapangan apa saja. Habibi tak mungkin dikenal dunia, bila dia hanya menetap di tempat kelahirannya, tapi dia ke Jakarta, ke Bandung dan kemudian ke Jerman dan kembali ke tanah air sebagai orang pintar yang diakui. Mungkin salah satu penyebab kenapa putra Melayu Riau hampir tidak pernah menjadi menteri kabinet, adalah disebabkan karena putera Melayu Riau tidak begitu dikenal di wilayah pusat grafitasi kekuasaan ( Jakarta/ Indonesia ), meskipun putra Melayu Riau banyak yang hebat dan pintar. Bila melihat sejarah hidup dan perjuangan masyarakat Melayu Riau sejak dari dulu, kebanyakan orientasi hidupnya adalah berdagang secara amatir dengan daerah tujuan terbatas, seperti Malaysia, Singapura, Jambi dan lokal. Sedangkan untuk menyambung pendidikan lebih banyak di daerah sendiri atau ke Sumatera Barat. Masyarakat Melayu Riau sejak dahulu telah ditakdirkan bergelut dengan uang yang banyak ( ke Malaysia dan Singapura membawa karet / kopra ) dan bersenang-senang dengan uang itu sehingga lupa memikirkan pendidikan dan wilayah politik. Dalam guyonan masyarakat banyak, “untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga mencari uang”. Sudah menjadi kesimpulan umum, bahwa orang yang mempunyai banyak uang, tidak mau bersusah payah, dan cendrung menghindari usaha-usaha yang memiliki dinamika persaingan. Yang penting bagi mereka, “menang, kenyang dan senang”. Untuk mendapatkan yang diinginkan, mereka lebih suka mengeluarkan uang berapa saja dari pada harus berjuang dengan pretasi.

Konotasi-konotasi negatif, anekdot-anekdot miring yang dialamatkan kepada masyarakat melayu, seperti “masyarakat pemalas, suka makan enak, suka berkumpul-kumpul dengan keluarga, takut berjuang di luar, bagak di kampung, suka membanggakan diri, suka merajuk, dan lain-lainnya”, mesti dimentahkan dan dihilangkan dengan bukti sebaliknya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai positif dari tradisi selama ini.
Masyarakat Riau, sudah semestinya mempopularitaskan identitas “melayu” yang diperkenalkan oleh “putera melayu” kemana saja di pelosok dunia ini. Identitas ini harus merupakan bagian dari budaya yang akrab dan abadi dalam kehidupan, bukan untuk sementara dan bukan untuk kepentingan sesaat.

Dengan akan diadakannya Wilayah Perdagangan Bebas (FTZ), segala bentuk potensi andalan sudah dipersiapkan, baik produk asli daerah, hasil industri rumah tangga, kerajinan tangan, maupun produk-produk hasil teknologi masa kini yang memiliki nilai jual, bermutu dan mampu untuk bersaing di pasar bebas. Jangan sampai wilayah pasar bebas, dijadikan tempat penjualan produk luar negeri untuk masyarakat Riau yang terkenal dengan kekayaannya. Wilayah berpikir masyarakat Riau di zaman pasar bebas, bukan untuk mencari keuntungan secara pribadi, tapi untuk citra Riau selamanya yang berdampak positif bagi segenap lapisan masyarakat, baik ekonomi maupun pendidikan. Prinsip hidup maju sebaiknya mulai dibudayakan menggantikan prinsip hidup tradisional.

Masyarakat Riau tidak hanya bersiap untuk menghadapi Pasar Bebas di Riau, tapi harus mampu keluar dari Riau untuk mengisi kapling persaingan pasar bebas di negara manapun. Zona Pasar Bebas, bukan sekedar mencari keuntungan materi bagi semua pihak, tapi juga mencari pengalaman, hiburan, dan wisata (rekreasi). Sudah sepatutnya masyarakat Riau menggali kembali atau memoles segala potensi budaya dan daerah untuk dijual pada ranah wisata. Karena yang akan datang ke Riau adalah orang-orang luar negeri, sudah seharusnya Riau menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, sehingga tidak menjadi kendala bagi masyarakat Riau untuk menerima wisatawan atau untuk pergi ke luar negeri.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah masyarakat Melayu Riau dalam waktu dekat menjadi maju sembari tetap mengejar segala ketertinggalan selama ini?. Namun, walau bagaimana, identitas “Melayu” harus segera dicari dan dipatenkan, yaitu identitas yang asli dan murni milik masyarakat melayu Riau. Berpikir positif, hidup berkualitas, islami, memiliki semangat hidup yang tinggi, berpikir maju, tidak cengeng, tidak nyanyah, harus menjadi budaya dan filosofi hidup masyarakat Riau, sebagai lambang identitas Melayu bagi masyarakat dunia. Satu suku bangsa atau budaya, hanya bisa dikenal melalui pelaku budaya itu sendiri yang sanggup berperan secara nasional ataupun internasional.

© Drs. Najwan A. Shamad


...Baca selengkapnya...

Untuk Sebuah Harapan

Oleh : Najwan A. Shamad

Akankah diteruskan perjalanan ini
Sampai langit turun dan marah, sangar melihat petualangan isu
Atau bumi merekah menganga menelan tubuh yang tercabik-cabik dosa pada ibu pertiwi

Aku tidak sanggup menunggu terlalu lama
berakhirnya permainan ini
sampai terhenyak menyesali keadaan di atas puing ulah sendiri

Oh tuan-tuan yang beradu di pentas ambisi
Tuan tidak akan menjerumuskan ketidak berdayaan ini ke lembah yang lebih dalam
Sampai hilang tangis dan tawa lawan-lawanmu
yang telah tuan habisi hak-haknya

Akan tuan biarkan anak ini sengsara
Akan tuan biarkan ibu pertiwi menangis
sampai ambisi tuan tercapai?

Sungguh aku tak mengerti
Tuan luluh lantakkan negeri ini demi ambisi

Oh tuan-tuan yang terhormat
Mari kita bergandeng tangan menatap masa depan dengan lapang dan arif
Kita ajak anak bangsa ini untuk tidak menangis lagi meratapi kehancuran

Masih banyak yang perlu diselesaikan
di zaman yang kian tidak bertepi ini
Demi kebahagiaaan si kecil kita yang sehat dan cerdas
dan tulus memaafkan dosa-dosa kita



...Baca selengkapnya...

Mencari Identitas Melayu II

Sejak dimulainya era reformasi di Indonesia, seluruh komponen tuntutan mengambang kepermukaan, mulai masalah ekonomi, politik, budaya dan otonomi. Semuanya menuntut agar seluruhnya direformasi. Khusus masalah kolusi korupsi dan nepotisme yang dialamatkan kepada pemegang kekuasaan seakan menjadi trend yang menggelora saat itu. Semua tuntutan datang dari orang-orang yang bukan pemegang kekuasaan dan pemerintahan. Tuntutan reformasi kepada pemegang kekuasaan lebih sengit disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dipinggirkan oleh sistem. Kebebasan mengeluarkan pendapat lebih banyak disuarakan oleh vokalis-vokalis yang selama ini disumbat mulutnya, dicekal tulisannya. Pokoknya di masa reformasi, segala sesuatu yang selama ini tidak bisa dipublikasikan karena sangat tidak sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, menyatu dalam suatu tuntutan yang merata dari seluruh pelosok tanah air.
Tahap berikutnya dari tuntutan reformasi adalah mengkristalnya tuntutan otonomi daerah. Hal ini disebabkan karena selama ini orang-orang daerah diasumsikan sebagai orang yang tidak mampu untuk berdiri sendiri mengatur dan mengurus daerahnya. Sehingga apapun bentuk pembangunan dan pengembangan, baik rencana maupun dananya diatur oleh pusat. Orang pusat sangat berkuasa dalam mengatur dan menentukan prioritas pembangunan. Semuanya serba sentralistik, orang daerah tinggal melaksanakan dengan baik keinginan pihak pusat.
Setelah otonomi daerah dicanangkan dan dilaksanakan, maka pihak daerah telah mulai bangkit menampakkan diri. Segala potensi daerah baik sumber daya manusia ( SDM ) maupun sumber daya alam ( SDA ) menjadi topik pembicaraan. Keinginan untuk berkuasa di daerah sendiri menjadi energi khusus untuk menuntut orang pusat. Keinginan memanfaatkan SDA untuk kepentingan daerah menjadi tameng dalam menuntut ketidak-adilan pusat ketika mendistribusikan dana negara.
Selanjutnya di daerah, khususnya di Riau, disamping pernah menuntut untuk merdeka, menuntut tentang hasil bumi Riau ( minyak ) yang dibawa ke pusat dan dikembalikan ke Riau dalam jumlah yang tidak rasional, juga timbul keinginan masyarakat Riau mengangkat citra Riau yang Melayu. Masyarakat Riau ingin melahirkan suatu citra budaya Melayu di nusantara ini. Budaya Melayu dengan segala bentuk tradisi, budaya, adat istiadat, seni maupun spesifikasi pakaian melayu, mulai dicanangkan dan dibudayakan kembali serta ditampilkan dalam acara-acara resmi. Selama ini tradisi-tradisi yang lahir dalam budaya Melayu seakan tidak eksis dan malu-malu untuk tampil, terutama dalam wilayah budaya Nusantara. Dalam penampilam budaya Nasional ( Indonesia ) di luar negeri, bagian tradisi dan budaya Melayu tidak pernah mengambil posisi. Pada hal budaya Nasional terdiri dari berbagai bentuk dan jenis tradisi dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Budaya Melayu di arena internasional seakan-akan hanya milik negara Malaysia. Untuk lebih eksis dalam khazanah budaya nusantara, Riau dengan lantang mengatakan “ tak kan Melayu hilang di bumi “. Suatu ungkapan yang menyiratkan keperkasaan dari Pahlawan Melayu Hang Tuah.
Melayu, suatu suku bangsa, Melayu, suatu tradisi dan budaya, Melayu suatu adat, Melayu suatu dinamika yang menggelembung, Melayu suatu citra budaya Islami, Melayu, suatu khawasan yang terdiri dari banyak pulau, terdiri dari banyak rumpun bangsa. Dimanakah letak Melayu yang sesungguhnya di dalam pemahaman kita ? Identitas Melayu apakah yang harus kita perjuangkan dan kita pertahankan untuk masa sekarang ini ?.
Sebagai bagian masyarakat Riau yang awam dengan pengertian ke Melayuan Riau, Penulis tidak dapat mengidentifikasi ciri khas Melayu Riau yang akan diangkat kepermukaan sebagai suatu tradisi yang membudaya dalam masyarakat Riau. Yang dapat Penulis lihat antara lain adalah dalam bentuk pakaian yang disebut dengan “pakaian Melayu”, tapi bentuk dan gayanya hampir tidak ada perbedaan dengan yang dipakai oleh saudara kita di Malaysia.
Begitu juga dari sudut bahasa; Yang dianggap sebagai bahasa Melayu selama ini adalah dialek bahasa yang dipakai oleh saudara kita di Riau Kepulauan, sama seperti dialek bahasa yang juga dipakai oleh saudara satu rumpun di Malaysia. Kalaulah sebagai identitas Melayu itu antara lain adalah bahasa Melayu seperti dialek Riau Kepulauan itu, maka bahasa yang dipakai di Kampar atau Taluk Kuantan ataupun Pasir Pengarayan harus diformat menjadi bahasa Melayu seperti dialek bahasa saudara kita di Riau Kepulauan. Tapi mungkinkah hal itu bisa dilakukan?
Jadi, bentuk dan identitas Melayu Riau itu, bagaimana sebetulnya. Kalau para budayawan Melayu atau tokoh-tokoh Melayu Riau tidak membuat garis perbedaan yang jelas, maka identitas Melayu Riau tidak ada bedanya dengan identitas Melayu di Malaysia. Kalau ini yang terjadi, kita orang Riau ini jangan lagi berbicara masalah Melayu Riau, karena tidak jelas bedanya dengan Melayu di Malaysia. Atau jangan-jangan kita dianggap sebagai orang yang mengangkat budaya Melayu Malaysia di bumi Riau ini. Saya yakin, bahwa para budayawan Melayu Riau akan memikirkan identitas budaya Melayu Riau. Budaya Melayu Riau harus punya ciri khas yang berbeda dengan budaya Melayu lainnya, terutama yang berkaitan dengan bangunan, pakaian, kesenian, falsafah hidup dan identitas lain yang nampak secara jelas.

© Drs. Najwan A. Shamad


...Baca selengkapnya...

Terbenam Dalam Hari

Senin, 09 November 2009

Oleh : Najwan A. Shamad

Ketika maghrib hilanglah aku bersama matahari menuju gelap
Rupanya gelap tidak membenamkanku ke dalam ketidak adaan
Ke pusat kesadaranku disuguhkannya langkah-langkah dari shubuhku sampai zhuhur ke asharku dari maghrib ke isyaku


Ketika shubuh menampar tidurku bangkit aku bersama kesadaran baru
Ku tapaki jalan cita-citaku bersama naiknya matahari
Pusat kekuatanku kian melemah ketika ku menoleh
Ternyata perjalananku tidak ada apa-apanya
Di belakangku hanya segeming harapan

Zhuhur tiba-tiba memberi ingat, sujudlah dulu nanti langkah dilanjutkan
Zhuhurkan dirimu kedahapanNya kalau kau memang dalam zhuhur

Setelah perjalanan ku teruskan tanpa ku sadari asharku telah memanggil
Rukuklah kamu kehadirat rabbmu
Cukup sampai di sini perjalan siang
Temuai anak dan isterimu
Bersama mereka maghriblah kamu dan simpanlah sementara cita-citamu
Sekarang hitung berapa hasil siangmu
Ternyata perjalanan hidupmu hanya beberapa langkah
Dari shubuh ke zhuhur dari zhuhur ke ashar dari ashar ke maghrib lalu ke isya
Kemudian kau terbenam bersama terbenamnya matahari dan kaupun terkubur dalam hari-harimu yang berulang singkat



...Baca selengkapnya...

Profesi Guru, Sebuah Dilemma ?

Dalam proses pendidikan, terutama di lembaga pendidikan formal, keberadaan guru adalah mutlak. Tanpa guru, proses pendidikan dan pengajaran menjadi tidak ada. Di lembaga pendidikan guru memegang peranan penting dan utama. Peristiwa belajar mengajar merupakan serangkaiaan kegiatan timbal balik antara guru dan siswa. Guru, membimbing, mengarahkan, memotivasi dan mengevaluasi. Sedangkan siswa adalah menerima bimbingan, arahan, dimotivasi dan dievaluasi.

Dewasa ini, jabatan atau profesi guru memiliki dinamika yang berkembang. Dari segi politik, professi guru menjadi titik fokus kebijakan partai untuk memajukan masyarakat. Pada situasi lain guru menjadi objek yang tak kunjung habis untuk diberi angin surga. Guru juga diposisikan sebagai orang-orang yang tidak boleh membantah, tidah boleh mengkritik . Guru harus dapat menerima keadaan apa adanya. Dilain pihak guru dituntut untuk terus mengembangkan dirinya, dipompa dengan penataran-penataran untuk meningkatkan kualitas, diwajibkan melengkapi perangkat Kegiatan Belajar Mengajar, dan disupervisi oleh pengawas. Hasil proses belajar mengajar guru dievaluasi dengan standar Ujian Nasional ( UN ). Hasil UN ini dijadikan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran secara nasional. Betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh seorang guru, mulai dari pagi hingga tengah malam. Belum lagi tuntutan dari orang tua siswa yang egois, menghadapi siswa yang nakal, anak sakit, menyelesaikan kredit di bank dan lain sebagainya.

Menurut Drs. Moh. Uzer Usman; “Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Orang yang pandai berbicara sekalipun belum dapat disebut sebagai guru”. Pernyataan diatas sangat tepat, mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang harus dilaksanakan dan diselesaikan oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Apalagi menyangkut usaha-usaha kemajuan, perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa.

Guru sebagai Profesi

Dari dulu sampai sekarang, keberadaan guru tetap dibutuhkan terutama untuk mentransfer ilmu, pendidikan dan pelajaran kepada siswa, mulai dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas. Seorang guru pada zaman dahulu diposisikan sebagai figur yang mulia, dihormati dan mendapat kedudukan tersendiri dimata masyarakat, karena mereka adalah orang-orang sabar dan telaten dalam mengajar dan mendidik. Sekarang, professi guru lebih dituntut untuk melaksanakan tugas mencerdaskan bangsa. Mereka diseleksi dan diberi gaji setiap bulan, mereka dituntut untuk mencapai target nilai maksimal dari hasil proses belajar mengajar sebagai lambang keberhasilan. Mereka diangkat dengan kwalifikasi ilmu dan pendidikan. Latar belakang pendidikan dan jurusan sangat menentukan untuk diangkat sebagai guru mata pelajaran. Kalau pada masa lalu guru diberi gelar sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sekarang jabatan guru telah dinaikkan tingkatnya sebagai jabatan professi dengan dana tunjangan tertentu.

Profesi guru dituntut untuk tetap meningkatkan mutu dirinya sebagai guru. Perkembangan ilmu pengetahuan harus diikuti secara baik. Kemampuan mengajar perlu ditingkatkan, kemampuan mendidik, mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengevaluasi perlu terus dibina. Keterampilan menggunakan perangkat tehnologi selayaknya lebih terampil dari anak didik. Dengan segudang keharusan yang harus dipersiapkan oleh seorang guru tersebut, professi guru akan tampak eksis dan dominan dalam dunia pendidikan. Yaitu seorang yang layak menyandang profesi guru.
Selaku bahagian aparat negara, pemerintah telah menetapkan profesi guru sebagai orang yang patut menerima perbaikan penghasilan dari waktu ke waktu, meski tetap belum memadai. Berpedoman kepada negera maju, Indonesia belum punya kemampuan dana untuk mensetarakan penghasilan, sementara tuntutan tetap tertumpu pada profesi guru untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu, dan membebaskan bangsa dari ketertinggalan

Guru sebagai Individu

Guru sebagai individu dihadapkan pada kendala pribadi yang serba tanggung. Sebagai seorang yang berprofesi guru selayaknya memiliki berbagai kelebihan, ilmu, pendidikan, dan pemikiran. Sebaliknya selaku manusia yang berprofesi sebagai guru menyadari kelemahannya, baik dari segi kualitas maupun kemampuan mengajar dan mendidik. Dalam kesehariannya selalu berhadapan dengan banyak persoalan dan tuntutan; masalah tugas dan persoalan rumah tangga harus dihadapi secara bersamaan dan diselesaikan dengan alokasi waktu yang berbeda. Sebagai individu dia mempunyai keinginan-keinginan subjektif, mempunyai pemikiran lain yang kadang kala memiliki kandungan perbedaan yang sangat sulit untuk disamakan, diterima dan dipahami oleh pihak lain seperti dengan atasan, dengan rekan seprofesi dan juga dengan lingkungan masyarakat. Perbenturan pemikiran dan pemahaman dengan atasan, secara individu seorang guru diposisikan pada situasi yang kurang menyenangkan. Lebih tragis lagi masih banyak dikalangan masyarakat yang menganggap seorang guru sebagai malaikat yang tidak boleh salah, dan bila melakukan perbuatan salah apalagi tercela, hancurlah wibawa guru tersebut dan segala kebenaran yang disampaikan tidak akan diterima lagi. Dengan keadaan begini hancurlah dirinya sebagai individu dikarenakan professinya yang harus tidak boleh salah.

Guru sebagai anggota masyarakat

Dalam keseharian, guru masih tetap “dihormati”. Keberadaannya sebagai orang yang bertugas mendidik dan mengajar di sekolah masih diharapkan oleh masyarakat. Harapan masyarakat masih tetap ada pada guru untuk mendidik anak-anak mereka dalam menapaki jenjang pendidikan. Bahkan pada lembaga pendidikan yang telah terbukti menghasilkan tamatan yang berkualitas dengan guru yang betul-betul profesional, masyarakat tidak keberatan untuk mengeluarkan dana berapapun. Dalam suasana lain, karena guru adalah juga bagian anggota masyarakat, segala aktifitas sosial kemasyarakatan, seorang guru diikut sertakan, bahkan untuk tugas ronda malam sekalipun. Begitu terpandangnya seorang guru, masyarakat selalu mengharapkan pemikiran maju dan jernih dari orang yang berprofesi sebagai guru. Dalam nuansa lain, begitu internnya keberadaan guru di tengah masyarakat, tidak sedikit pula guru yang terkontaminasi cara berfikir dan cara hidupnya oleh cara berpikir yang cendrung tidak realistis bahkan tradisional, sehingga segala identitas yang seharusnya melekat pada diri seorang guru menjadi hilang dan tidak ada bedanya sama sekali dengan cara berpikir orang banyak.

Dilemma kehidupan Guru

Guru menyadari bahwa tugas yang harus dilaksanakan memang mulia tapi sangat berat. Segala keinginan pemerintah dan masyarakat harus dipahami sekaligus, yaitu dapat melaksanakan tugas mendidik dan mengajar dengan baik dan berhasil. Guru ingin berdiri di depan kelas dengan senyum dan penuh rasa sayang kepada anak didiknya, ingin membimbing anak agar meningkat pengetahuannya, ingin memotivasi anak yang malas menjadi rajin. Guru ingin memenuhi segala perangkat mengajar, datang lebih awal ke sekolah dengan penuh rasa tanggung jawab.

Sebaliknya sebagai individu yang berprofesi sebagai guru, juga mempunyai rasa ingin dihargai, kesejahteraan yang diperhatikan, dan tidak ingin dilecehkan oleh siapapun, baik oleh anak-anak didik, orang tua ataupun masyarakat dan pemerintah. Naik pangkat lebih cepat tentu keinginan yang tidak berlebihan.

Kenyataan yang dirasakan oleh guru adalah, bagaimana tampil dengan tersenyum di depan kelas sementara setumpuk persoalan rumah tangga harus dihadapi, kertas ulangan banyak yang belum diperiksa, kredit bank harus diselesaikan, rumah masih menyewa. Bagaimana menutupi kekesalan hati yang selalu gundah. Guru sebetulnya tidak ingin mengumbar kekesalan pada murid, tidak ingin menjadikan murid sebagai korban kekecewaan. Tapi apa mau dikata, kadang-kadang murid harus jadi korban kekesalan dan kekecewaan guru.

Persoalan lain yang lebih krusial bagi sebagian guru dalam masyarakat adalah ketidak mampuan untuk menampilkan sosok sebagai seorang guru yang pantas dihormati dan dihargai, yaitu seorang yang memiliki loyalitas dan integritas tinggi kepada profesi. Tidak adanya integritas antara profesi dengan sikap kepribadian sehari-hari di luar sekolah, dan merasa canggung untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan etika dan moral. Gamang dalam prinsip, hilang idealis, cendrung apa adanya, masa bodoh dan permisif dengan persoalan dekadensi moral. Agar kredit point kenaikan pangkat dapat tercapai dalam waktu yang cepat, mau melakukan jalan pintas dengan mamanipulasi data dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Dalam hal yang berkaitan dengan profesi, sebagian guru masih memiliki banyak kelemahan dan dilemma pribadi. Seperti ketidaksanggupan tampil sebagai Pembina Upacara Bendera, tidak mampu memberi pengarahan kepada siswa sebelum masuk kelas, tidak punya keberanian untuk berbicara dalam rapat, malas membaca, pemarah, tidak bisa menerima kritikan, tidak sanggup menjadikan dirinya sebagai orang yang disiplin, tidak mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang simpatik, moderat, berjiwa besar, idealis dan berpihak kepada kebenaran serta kaya inisiatif dan kreatifitas.

Dalam kesehariannya, terkadang bisa larut dengan kepribadian yang gamang, keberpihakan kepada kebenaran diragukan, pola pikir sulit diterima, sikap objektif jauh sekali, bicara banyak tapi tidak mendidik, tidak idealis bahkan cendrung materialis. Bila telah berhadapan dengan permasalahan masyarakat, tidak mampu menampilkan diri sebagai orang yang memiliki kecerdasan dalam berpikir. Ide-ide baru untuk suatu perbaikan tidak nampak. bahkan alergi menerima sesuatu yang baru baik sistem maupun perubahan strategi dan cendrung mempertahankan gaya dan cara lama.
Pusat kesadaran sebagian guru yang mempunyai dilemma tersebut, nampak masih perlu dimotivasi dengan berbagai cara, terutama oleh atasan atau kepala. Ketidak mampuan seorang kepala untuk memahami persoalan-persoalan pribadi seorang guru mungkin akan memperluas jarak antara pribadi guru dengan professinya. Kepala sekolah yang hanya tahu bahwa seorang guru harus hadir pada jam mengajar, selalu memposisikan guru sebagai bawahan yang harus patuh, hal ini akan membuat keadaan lebih jelek lagi.
Bentuk pendekatan lain yang lebih bernuansa tidak formal oleh seorang kepala pada guru sebagai mitra kerja mungkin akan memperlapang pemikiran dan perasaan guru. Kemampuan kepala menghargai eksistensi guru sebagai pribadi dan sebagai mitra kerja dan merupakan bagian terpenting dalam kerjasama tim mungkin akan menyebabkan gairah melaksanakan tugas keguruannya akan bertambah baik. Sebuah pepatah Arab yang berarti “belajarlah menjadi pendengar yang baik, sebagaimana juga kamu belajar sebagai pembicara yang baik “ perlu dilakukan oleh seorang atasan untuk lebih mengerti dengan persoalan pribadi guru. Tapi pendekatan seperti ini tidaklah sampai mengurangi ketegasan atasan kepada guru. Pendekatan perlu tapi ketegasan tetap dipertahan agar seorang guru yang berkeperibadian jelek tidak memfaatkan situasi ini untuk kepentingan dirinya sendiri, dan meninggalkan tugas dengan alasan yang dibuat-buat.

Sebagai mengakhiri tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan guru akan tetap menjadi kebutuhan untuk mencerdaskan anak bangsa. Sebagai pribadi seorang guru mempunyai banyak kelemahan dan dilemma, apakah sebagai individu, penyandang professi guru dan sebagai bagian anggota masyarakat. Hal ini lah sebenarnya yang dituju dalam tulisan ini, yaitu “ Professi Guru, sebuah Dilemma ?”.

Guru dengan segala kekurangannya harus dipandang dalam berbagai posisi sehingga tidak sampai mejatuhkan posisinya dimata berbagai pihak. Kekurangan guru tidak dikritik sebagai kekurangan ansich, tapi juga harus dilihat faktor-faktor penyebab kekurangan tersebut, mulai dari cara-cara dan kriteria pengangkatan guru, kesejahteraan, penghargaan eksistensi, jaminan kenaikan pangkat bagi yang berprestasi, sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakan tugas, pengawasan yang objektif, usaha-usaha peningkatan mutu guru, objek penambah penghasilan bagi oknum tertentu, tata cara mutasi, ketidak tegasan dan kerancuan cara pandang atasan pada tindakan-tindakan yang indisipliner. Apalagi kalau masyarakat telah pula mengintimidasi guru dengan keinginan-keinginan subjektif disertai dengan ancaman segala, tentu situasi ini jelas membuat guru gamang dalam berbuat. Mau memperturutkan keinginan subjektif masyarakat atau tetap mempertahan objektifitas. Tapi yang paling berpengaruh bagi terlaksananya tugas guru dengan baik adalah masalah kesejahteraan dan hal ini bukan hanya pada professi guru tapi juga propessi lain. Masalah kesejahteraan harus dipahami sebagai bukan upah atau sebagai belas kasih tapi lebih menghormati dan menghargai professi. Mendidik agar orang berilmu adalah dengan segudang ilmu. Mendidik agar orang bermoral adalah dengan tersenyum, berjiwa besar, dengan penuh rasa sayang yang terpancar dari lubuk hati yang dalam. Hal ini akan terujud bila yang berdiri didepan kelas adalah orang yang telah puas hati dan tenang pemikirannya. Kegelisahan bathinnya telah didengar oleh atasannya, semuanya telah terpenuhi dalam ukuran yang wajar dan seimbang. Hanya masyarakat yang mengerti, atasan yang arif dan kepribadian guru yang terpujilah yang dapat menyelesaikan dilemma professi guru yang dirasakan sekarang ini.

Terakhir, guru tidak hanya boleh berharap kesejahteraan dan penghargaan dari masyarakat, orang tua dan pemerintah, tapi juga harus mampu membuktikan dan menampilkan diri sebagai guru yang propessional, berkepribadian yang pantas diteladani, memiliki pemikiran dan ide yang sangat baik dan selalu berpihak kepada kebenaran, tidak goyang dalam prinsip, objektif dalam menilai, positif dalam berpikir. Sekarang masih banyak diantara guru yang kesejahteraannya telah baik namun tetap malas melaksanakan tugas sucinya. Professi guru bukan lahan mencari kekayaan, tapi lahan untuk berhadapan dengan kearifan dan kepribadian yang mulia. Dunia guru hanya menggeluti dunia ilmu, etika dan moral. Tugas guru adalah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak, dan mendidik mereka untuk bermoral dan menghormati kebenaran. Pergaulan antara guru adalah penuh dengan rasa saling menghargai dan menghormati, bukan saling menyalahkan. Melaksanakan tugas keguruan harus dengan niat baik dan ikhlas. Keberpihakan guru adalah pada kebenaran, kasih sayang guru adalah untuk semua anak didik, dan rapor guru ada di tangan Tuhan. Semoga !

© Drs. Najwan A. Shamad


...Baca selengkapnya...

Fatamorgana

Oleh : Najwan A. Shamad

Pada saat kilau milau kehidupan
Menggerayangi pelupuk mata
Mengacaukan kejernihan berfikir
Hancurlah diri


Kelemahan ditinggalkan berganti kekuatan
Malu ditinggalkan berganti keberanian
Timbang rasa dan kelembutan
dicampakkan kekolong selangkang kaki
Dengan baju demi kehidupan semua menjadi benar
kesetiaan hanya untuk untung
Persahabatan hanya untuk sepenggal waktu yang kasip
semua menjadi halal
untuk membunuh rintangan

Fatamorgana kehidupan adalah keindahan disaat gersang
sebanyak kepentingan dan kebutuhan
keindahan fatamorgana hanya untuk bebas menikmati dari kejauhan
Fatamorgana adalah keindahan menjelang semua
yang diinginkan tergapai dirangkulan tangan
setelah itu hilang tanpa kesan
dibalik kepuasaan dan keserakahan


...Baca selengkapnya...

Mencari Identitas Melayu I

Kami telah membina suatu kehidupan bersama dalam berbagai kegiatan. Kami telah lama berkumpul dan melakukan banyak aktifitas terutama yang mengarah kepada pembinaan keluarga masing-masing. Kami terdiri dari berbagai suku bangsa dan latar belakang tradisi; dari Rumbio, Kuok, Bangkinang, Bukittinggi, Pariaman, Payakumbuh, Sunda, Jakarta, Jawa Tengah, dan lain-lainnya dalam berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Dapat dikatakan suatu kumpulan beberapa keluarga yang heterogen. Kumpulan kami tidak ekslusif, tidak memisah dari
masyarakat. Kegiatan kami, mulai dari kegiatan olah raga setiap sore, mendidik anak-anak membaca al Quraan, wirid pengajian dialogis untuk pembinaan agama dan rumah tangga serta diselingi dengan tradisi arisan.

Hampir setiap ada kesempatan kami selalu mengadakan diskusi dan tukar pendapat baik urusan politik atau urusan pendidikan, dan tak ketinggalan masalah budaya dan tradisi. Hebatnya lagi, walaupun kami berdiskusi agak keras dan emosional, namun tidak merusak hubungan kekeluargaan kami selama ini, walau nampak emosional namun akhirnya sama-sama tertawa.

Inti dari permasalahan yang selalu kami diskusikan antara lain adalah mencari identitas Melayu. Kami telah berusaha berdiskusi dan mencari dari berbagai literatur dan pemahaman masing-masing kami, namun kami belum menemukan jati diri dari Melayu itu sendiri. Identitas Melayu yang mana yang mungkin dapat kita terima dan pakai bersama.

Akhirnya saya ( Penulis) ingin bertanya kepada tokoh budaya Melayu yang ada di bumi Riau ini dan kiranya dapat memberikan jawaban kepada kami-kami ini. Latar belakang permasalahan kami adalah sebagai berikut :

1. Secara geografis rumpun bangsa Melayu ini ada di bebarapa tempat dan pulau, antara lain, di Riau sendiri, di Sumatera Barat, di Sumatera Utara, Jambi, Palembang di Kalimantan dan di semenanjung Malaysia. Kesemua suku bangsa ini mengaku orang Melayu dari ras Melanesia. Masing-masing suku bangsa ini walapun sama-sama Melayu namun mempunyai tradisi adat dan budaya sendiri-sendiri.

2. Di Riau sendiri, wajah Melayu juga menampakkan spesifikasi perbedaan, terutama masyarakat Riau Kepulauan, masyarakat Kampar, masyarakat Pasir Pengarayan, masyarakat Indragiri, masyarakat Taluk Kuantan dan istimewa lagi termasuk masyarakat Sakai / Talang Mamak yang masih belum disentuh kemajuan.

3. Masing-masing masyarakat yang ada di bumi Riau ini, walaupun sama-sama Melayu, tapi secara intrinsik dipengaruhi oleh berbagai latar belakang budaya daerah lain, seperti masyarakat Indragiri banyak dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Banjar dan Bugis, masyakat Kampar dan Taluk Kuantan dipengaruhi adat Minangkabau. Sebagian dari pengaruh ini akan terlihat ketika melakukan tradisi perkawinan dan upacara adat.
Dari permasalahan di atas kami ingin mendapat jawaban.

Pertanyaan kami :

1. Budaya Melayu yang mana yang dapat kami jadikan panutan untuk kehidupan sehari-hari. Terutama dalam acara peresmian pernikahan, syukur-syukur budayawan Melayu telah membuat spesifikasi khusus.

2. Dalam berpakaian Melayu, apakah dipakai pada acara seremonial budaya saja atau dalam konteks keseharian. Rasanya untuk pakaian sehari-hari dalam bekerja mencari kehidupan, pakaian Melayu seperti yang dicanangkan selama ini kurang relevan.

3. Dalam hal hidup bermasyarakat, bagaimana menampilkan dinamika Melayu yang sebenarnya, apakah dinamika islamnya atau bahasa melayunya. Sebab selama ini dipahami, bahwa Melayu lebih diidentikkan dengan Islamy.

4. Kami selama ini melihat, nuansa Melayu baru sebatas bentuk pakaian yang selama ini dicanangkan dan dibudayakan pada hari-hari tertentu bagi kalangan pegawai dan anak sekolah saja. Dari sisi lain kami belum melihat ciri-ciri yang dominan, terutama dalam keseharian masyarakat. Bagimana yang sebenarnya.

5. Kalaulah Melayu itu identik dengan Islamy, mungkin ada baiknya kita mengkaji ulang dari berbagai tradisi dan budaya Melayu yang berkembang saat ini dari segi nuansa Islaminya. Baik dari segi seni tarinya, budaya hidupnya, sikap, cara pandang, dan cara berpikirnya. Saya beranggapan bahwa Melayu itu bukan hanya tradisi, adat dan budaya ansich, tapi lebih dari itu; Melayu adalah identik dengan budaya Islam. Melayu adalah suatu kpribadian yang kokoh, karena dia menempel dan berdasarkan pada ajaran Islam. Melayu bukan etnis suku yang tertinggal dan bertahan dalam tradisi lama, tapi membuka diri untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melayu bukan bangsa yang primordial, tapi bisa menerima dan hidup beradaptasi dengan segala suku bangsa dalam nuansa ramah dan saling menghargai. Bangsa Melayu Riau meski telah diperlakukan tidak adil, namun tidak memendam dendam, semua diselesaikan dengan cara proporsional di atas meja musyawarah. Pihak lain juga harus dapat menghargai dan menerima cara-cara Melayu yang proporsional itu.

6. Bentuk konsistensi orang Yahudi terhadap ke-Yahudiaanya perlu ditiru, walaupun mereka telah menjadi warga negara yang berbeda dan berada dimana-mana, namun jati diri dan identitas Yahudi mereka tetap kental, tidak luntur dimakan waktu dan masa. Mereka tidak hanya melakukan perjuangan di Israel, namun mereka berjuang dimana-mana dengan segala potensi yang mereka miliki.

Perjuangan masyarakat Melayu Riau dalam mengembangkan diri, sebaiknya tidak hanya terfokus di bumi Riau ini saja, namun bisa tampil di mana-mana, baik tingkat nasional maupun internasional. Apakah tidak perlu putera Melayu Riau tampil ditingkat Nasional, seperti yang telah dilakukan oleh suku bangsa lain di negara tercinta ini. Ketokohan putera Melayu Riau seharusnya pula dirasakan oleh seluruh warga negara ini. Sehingga dengannya eksistensi putera Melayu Riau nampak dan dirasakan keberadaannya. Keberadaan dan kehebatan putera Melayu Riau tidak perlu ditonjolkan dan diagungkan oleh masyarakat Riau sendiri, tapi dapat dilihat dan diakui oleh masyarakat lain di luar Riau. Ketokohan putera Melayu Riau jangan hanya sebatas membicarakan budaya Melayu, tapi hendaknya lebih mengglobal dalam berbagai disiplin ilmu dan pemikiran. Wawasan pemikiran putera Melayu Riau bukan hanya untuk ruang lingkup Riau yang kecil ini, tapi lebih mendunia. Keberadaan putera Melayu Riau harus ada dimana-mana di bumi ini. Untuk hal ini, sangat tepat kalau kita berprinsip “Takkan Melayu Hilang di bumi”

Jadi melalui tulisan ini, kiranya tokoh-tokoh Melayu Riau, Budayawan Melayu bisa memberikan opini yang tepat kepada kami ( masyarakat Indonesia pada umumnya), dan selanjutnya dapat pula kami sosialisasikan kepada masyarakat melalui profesi kami masing-masing.

Demikianlah beberapa pemikiran dan pertanyaan dari kami, kiranya menyambung kepada para tokoh-tokoh Melayu di Riau ini. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih. Semoga jalan menjadi lempang, keberadaan putera Melayu Riau dirasakan kiprahnya dibumi nusantara ini, dan takkan Melayu hilang di Bumi. Amin.

© Drs. Najwan A. Shamad

...Baca selengkapnya...