Rabu, 11 November 2009
Sejak dimulainya era reformasi di Indonesia, seluruh komponen tuntutan mengambang kepermukaan, mulai masalah ekonomi, politik, budaya dan otonomi. Semuanya menuntut agar seluruhnya direformasi. Khusus masalah kolusi korupsi dan nepotisme yang dialamatkan kepada pemegang kekuasaan seakan menjadi trend yang menggelora saat itu. Semua tuntutan datang dari orang-orang yang bukan pemegang kekuasaan dan pemerintahan. Tuntutan reformasi kepada pemegang kekuasaan lebih sengit disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dipinggirkan oleh sistem. Kebebasan mengeluarkan pendapat lebih banyak disuarakan oleh vokalis-vokalis yang selama ini disumbat mulutnya, dicekal tulisannya. Pokoknya di masa reformasi, segala sesuatu yang selama ini tidak bisa dipublikasikan karena sangat tidak sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, menyatu dalam suatu tuntutan yang merata dari seluruh pelosok tanah air.
Tahap berikutnya dari tuntutan reformasi adalah mengkristalnya tuntutan otonomi daerah. Hal ini disebabkan karena selama ini orang-orang daerah diasumsikan sebagai orang yang tidak mampu untuk berdiri sendiri mengatur dan mengurus daerahnya. Sehingga apapun bentuk pembangunan dan pengembangan, baik rencana maupun dananya diatur oleh pusat. Orang pusat sangat berkuasa dalam mengatur dan menentukan prioritas pembangunan. Semuanya serba sentralistik, orang daerah tinggal melaksanakan dengan baik keinginan pihak pusat.
Setelah otonomi daerah dicanangkan dan dilaksanakan, maka pihak daerah telah mulai bangkit menampakkan diri. Segala potensi daerah baik sumber daya manusia ( SDM ) maupun sumber daya alam ( SDA ) menjadi topik pembicaraan. Keinginan untuk berkuasa di daerah sendiri menjadi energi khusus untuk menuntut orang pusat. Keinginan memanfaatkan SDA untuk kepentingan daerah menjadi tameng dalam menuntut ketidak-adilan pusat ketika mendistribusikan dana negara.
Selanjutnya di daerah, khususnya di Riau, disamping pernah menuntut untuk merdeka, menuntut tentang hasil bumi Riau ( minyak ) yang dibawa ke pusat dan dikembalikan ke Riau dalam jumlah yang tidak rasional, juga timbul keinginan masyarakat Riau mengangkat citra Riau yang Melayu. Masyarakat Riau ingin melahirkan suatu citra budaya Melayu di nusantara ini. Budaya Melayu dengan segala bentuk tradisi, budaya, adat istiadat, seni maupun spesifikasi pakaian melayu, mulai dicanangkan dan dibudayakan kembali serta ditampilkan dalam acara-acara resmi. Selama ini tradisi-tradisi yang lahir dalam budaya Melayu seakan tidak eksis dan malu-malu untuk tampil, terutama dalam wilayah budaya Nusantara. Dalam penampilam budaya Nasional ( Indonesia ) di luar negeri, bagian tradisi dan budaya Melayu tidak pernah mengambil posisi. Pada hal budaya Nasional terdiri dari berbagai bentuk dan jenis tradisi dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Budaya Melayu di arena internasional seakan-akan hanya milik negara Malaysia. Untuk lebih eksis dalam khazanah budaya nusantara, Riau dengan lantang mengatakan “ tak kan Melayu hilang di bumi “. Suatu ungkapan yang menyiratkan keperkasaan dari Pahlawan Melayu Hang Tuah.
Melayu, suatu suku bangsa, Melayu, suatu tradisi dan budaya, Melayu suatu adat, Melayu suatu dinamika yang menggelembung, Melayu suatu citra budaya Islami, Melayu, suatu khawasan yang terdiri dari banyak pulau, terdiri dari banyak rumpun bangsa. Dimanakah letak Melayu yang sesungguhnya di dalam pemahaman kita ? Identitas Melayu apakah yang harus kita perjuangkan dan kita pertahankan untuk masa sekarang ini ?.
Sebagai bagian masyarakat Riau yang awam dengan pengertian ke Melayuan Riau, Penulis tidak dapat mengidentifikasi ciri khas Melayu Riau yang akan diangkat kepermukaan sebagai suatu tradisi yang membudaya dalam masyarakat Riau. Yang dapat Penulis lihat antara lain adalah dalam bentuk pakaian yang disebut dengan “pakaian Melayu”, tapi bentuk dan gayanya hampir tidak ada perbedaan dengan yang dipakai oleh saudara kita di Malaysia.
Begitu juga dari sudut bahasa; Yang dianggap sebagai bahasa Melayu selama ini adalah dialek bahasa yang dipakai oleh saudara kita di Riau Kepulauan, sama seperti dialek bahasa yang juga dipakai oleh saudara satu rumpun di Malaysia. Kalaulah sebagai identitas Melayu itu antara lain adalah bahasa Melayu seperti dialek Riau Kepulauan itu, maka bahasa yang dipakai di Kampar atau Taluk Kuantan ataupun Pasir Pengarayan harus diformat menjadi bahasa Melayu seperti dialek bahasa saudara kita di Riau Kepulauan. Tapi mungkinkah hal itu bisa dilakukan?
Jadi, bentuk dan identitas Melayu Riau itu, bagaimana sebetulnya. Kalau para budayawan Melayu atau tokoh-tokoh Melayu Riau tidak membuat garis perbedaan yang jelas, maka identitas Melayu Riau tidak ada bedanya dengan identitas Melayu di Malaysia. Kalau ini yang terjadi, kita orang Riau ini jangan lagi berbicara masalah Melayu Riau, karena tidak jelas bedanya dengan Melayu di Malaysia. Atau jangan-jangan kita dianggap sebagai orang yang mengangkat budaya Melayu Malaysia di bumi Riau ini. Saya yakin, bahwa para budayawan Melayu Riau akan memikirkan identitas budaya Melayu Riau. Budaya Melayu Riau harus punya ciri khas yang berbeda dengan budaya Melayu lainnya, terutama yang berkaitan dengan bangunan, pakaian, kesenian, falsafah hidup dan identitas lain yang nampak secara jelas.
© Drs. Najwan A. Shamad
0 Comments:
Post a Comment