Profesi Guru, Sebuah Dilemma ?

Senin, 09 November 2009

Dalam proses pendidikan, terutama di lembaga pendidikan formal, keberadaan guru adalah mutlak. Tanpa guru, proses pendidikan dan pengajaran menjadi tidak ada. Di lembaga pendidikan guru memegang peranan penting dan utama. Peristiwa belajar mengajar merupakan serangkaiaan kegiatan timbal balik antara guru dan siswa. Guru, membimbing, mengarahkan, memotivasi dan mengevaluasi. Sedangkan siswa adalah menerima bimbingan, arahan, dimotivasi dan dievaluasi.

Dewasa ini, jabatan atau profesi guru memiliki dinamika yang berkembang. Dari segi politik, professi guru menjadi titik fokus kebijakan partai untuk memajukan masyarakat. Pada situasi lain guru menjadi objek yang tak kunjung habis untuk diberi angin surga. Guru juga diposisikan sebagai orang-orang yang tidak boleh membantah, tidah boleh mengkritik . Guru harus dapat menerima keadaan apa adanya. Dilain pihak guru dituntut untuk terus mengembangkan dirinya, dipompa dengan penataran-penataran untuk meningkatkan kualitas, diwajibkan melengkapi perangkat Kegiatan Belajar Mengajar, dan disupervisi oleh pengawas. Hasil proses belajar mengajar guru dievaluasi dengan standar Ujian Nasional ( UN ). Hasil UN ini dijadikan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran secara nasional. Betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh seorang guru, mulai dari pagi hingga tengah malam. Belum lagi tuntutan dari orang tua siswa yang egois, menghadapi siswa yang nakal, anak sakit, menyelesaikan kredit di bank dan lain sebagainya.

Menurut Drs. Moh. Uzer Usman; “Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Orang yang pandai berbicara sekalipun belum dapat disebut sebagai guru”. Pernyataan diatas sangat tepat, mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang harus dilaksanakan dan diselesaikan oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Apalagi menyangkut usaha-usaha kemajuan, perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa.

Guru sebagai Profesi

Dari dulu sampai sekarang, keberadaan guru tetap dibutuhkan terutama untuk mentransfer ilmu, pendidikan dan pelajaran kepada siswa, mulai dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas. Seorang guru pada zaman dahulu diposisikan sebagai figur yang mulia, dihormati dan mendapat kedudukan tersendiri dimata masyarakat, karena mereka adalah orang-orang sabar dan telaten dalam mengajar dan mendidik. Sekarang, professi guru lebih dituntut untuk melaksanakan tugas mencerdaskan bangsa. Mereka diseleksi dan diberi gaji setiap bulan, mereka dituntut untuk mencapai target nilai maksimal dari hasil proses belajar mengajar sebagai lambang keberhasilan. Mereka diangkat dengan kwalifikasi ilmu dan pendidikan. Latar belakang pendidikan dan jurusan sangat menentukan untuk diangkat sebagai guru mata pelajaran. Kalau pada masa lalu guru diberi gelar sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sekarang jabatan guru telah dinaikkan tingkatnya sebagai jabatan professi dengan dana tunjangan tertentu.

Profesi guru dituntut untuk tetap meningkatkan mutu dirinya sebagai guru. Perkembangan ilmu pengetahuan harus diikuti secara baik. Kemampuan mengajar perlu ditingkatkan, kemampuan mendidik, mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengevaluasi perlu terus dibina. Keterampilan menggunakan perangkat tehnologi selayaknya lebih terampil dari anak didik. Dengan segudang keharusan yang harus dipersiapkan oleh seorang guru tersebut, professi guru akan tampak eksis dan dominan dalam dunia pendidikan. Yaitu seorang yang layak menyandang profesi guru.
Selaku bahagian aparat negara, pemerintah telah menetapkan profesi guru sebagai orang yang patut menerima perbaikan penghasilan dari waktu ke waktu, meski tetap belum memadai. Berpedoman kepada negera maju, Indonesia belum punya kemampuan dana untuk mensetarakan penghasilan, sementara tuntutan tetap tertumpu pada profesi guru untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu, dan membebaskan bangsa dari ketertinggalan

Guru sebagai Individu

Guru sebagai individu dihadapkan pada kendala pribadi yang serba tanggung. Sebagai seorang yang berprofesi guru selayaknya memiliki berbagai kelebihan, ilmu, pendidikan, dan pemikiran. Sebaliknya selaku manusia yang berprofesi sebagai guru menyadari kelemahannya, baik dari segi kualitas maupun kemampuan mengajar dan mendidik. Dalam kesehariannya selalu berhadapan dengan banyak persoalan dan tuntutan; masalah tugas dan persoalan rumah tangga harus dihadapi secara bersamaan dan diselesaikan dengan alokasi waktu yang berbeda. Sebagai individu dia mempunyai keinginan-keinginan subjektif, mempunyai pemikiran lain yang kadang kala memiliki kandungan perbedaan yang sangat sulit untuk disamakan, diterima dan dipahami oleh pihak lain seperti dengan atasan, dengan rekan seprofesi dan juga dengan lingkungan masyarakat. Perbenturan pemikiran dan pemahaman dengan atasan, secara individu seorang guru diposisikan pada situasi yang kurang menyenangkan. Lebih tragis lagi masih banyak dikalangan masyarakat yang menganggap seorang guru sebagai malaikat yang tidak boleh salah, dan bila melakukan perbuatan salah apalagi tercela, hancurlah wibawa guru tersebut dan segala kebenaran yang disampaikan tidak akan diterima lagi. Dengan keadaan begini hancurlah dirinya sebagai individu dikarenakan professinya yang harus tidak boleh salah.

Guru sebagai anggota masyarakat

Dalam keseharian, guru masih tetap “dihormati”. Keberadaannya sebagai orang yang bertugas mendidik dan mengajar di sekolah masih diharapkan oleh masyarakat. Harapan masyarakat masih tetap ada pada guru untuk mendidik anak-anak mereka dalam menapaki jenjang pendidikan. Bahkan pada lembaga pendidikan yang telah terbukti menghasilkan tamatan yang berkualitas dengan guru yang betul-betul profesional, masyarakat tidak keberatan untuk mengeluarkan dana berapapun. Dalam suasana lain, karena guru adalah juga bagian anggota masyarakat, segala aktifitas sosial kemasyarakatan, seorang guru diikut sertakan, bahkan untuk tugas ronda malam sekalipun. Begitu terpandangnya seorang guru, masyarakat selalu mengharapkan pemikiran maju dan jernih dari orang yang berprofesi sebagai guru. Dalam nuansa lain, begitu internnya keberadaan guru di tengah masyarakat, tidak sedikit pula guru yang terkontaminasi cara berfikir dan cara hidupnya oleh cara berpikir yang cendrung tidak realistis bahkan tradisional, sehingga segala identitas yang seharusnya melekat pada diri seorang guru menjadi hilang dan tidak ada bedanya sama sekali dengan cara berpikir orang banyak.

Dilemma kehidupan Guru

Guru menyadari bahwa tugas yang harus dilaksanakan memang mulia tapi sangat berat. Segala keinginan pemerintah dan masyarakat harus dipahami sekaligus, yaitu dapat melaksanakan tugas mendidik dan mengajar dengan baik dan berhasil. Guru ingin berdiri di depan kelas dengan senyum dan penuh rasa sayang kepada anak didiknya, ingin membimbing anak agar meningkat pengetahuannya, ingin memotivasi anak yang malas menjadi rajin. Guru ingin memenuhi segala perangkat mengajar, datang lebih awal ke sekolah dengan penuh rasa tanggung jawab.

Sebaliknya sebagai individu yang berprofesi sebagai guru, juga mempunyai rasa ingin dihargai, kesejahteraan yang diperhatikan, dan tidak ingin dilecehkan oleh siapapun, baik oleh anak-anak didik, orang tua ataupun masyarakat dan pemerintah. Naik pangkat lebih cepat tentu keinginan yang tidak berlebihan.

Kenyataan yang dirasakan oleh guru adalah, bagaimana tampil dengan tersenyum di depan kelas sementara setumpuk persoalan rumah tangga harus dihadapi, kertas ulangan banyak yang belum diperiksa, kredit bank harus diselesaikan, rumah masih menyewa. Bagaimana menutupi kekesalan hati yang selalu gundah. Guru sebetulnya tidak ingin mengumbar kekesalan pada murid, tidak ingin menjadikan murid sebagai korban kekecewaan. Tapi apa mau dikata, kadang-kadang murid harus jadi korban kekesalan dan kekecewaan guru.

Persoalan lain yang lebih krusial bagi sebagian guru dalam masyarakat adalah ketidak mampuan untuk menampilkan sosok sebagai seorang guru yang pantas dihormati dan dihargai, yaitu seorang yang memiliki loyalitas dan integritas tinggi kepada profesi. Tidak adanya integritas antara profesi dengan sikap kepribadian sehari-hari di luar sekolah, dan merasa canggung untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan etika dan moral. Gamang dalam prinsip, hilang idealis, cendrung apa adanya, masa bodoh dan permisif dengan persoalan dekadensi moral. Agar kredit point kenaikan pangkat dapat tercapai dalam waktu yang cepat, mau melakukan jalan pintas dengan mamanipulasi data dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Dalam hal yang berkaitan dengan profesi, sebagian guru masih memiliki banyak kelemahan dan dilemma pribadi. Seperti ketidaksanggupan tampil sebagai Pembina Upacara Bendera, tidak mampu memberi pengarahan kepada siswa sebelum masuk kelas, tidak punya keberanian untuk berbicara dalam rapat, malas membaca, pemarah, tidak bisa menerima kritikan, tidak sanggup menjadikan dirinya sebagai orang yang disiplin, tidak mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang simpatik, moderat, berjiwa besar, idealis dan berpihak kepada kebenaran serta kaya inisiatif dan kreatifitas.

Dalam kesehariannya, terkadang bisa larut dengan kepribadian yang gamang, keberpihakan kepada kebenaran diragukan, pola pikir sulit diterima, sikap objektif jauh sekali, bicara banyak tapi tidak mendidik, tidak idealis bahkan cendrung materialis. Bila telah berhadapan dengan permasalahan masyarakat, tidak mampu menampilkan diri sebagai orang yang memiliki kecerdasan dalam berpikir. Ide-ide baru untuk suatu perbaikan tidak nampak. bahkan alergi menerima sesuatu yang baru baik sistem maupun perubahan strategi dan cendrung mempertahankan gaya dan cara lama.
Pusat kesadaran sebagian guru yang mempunyai dilemma tersebut, nampak masih perlu dimotivasi dengan berbagai cara, terutama oleh atasan atau kepala. Ketidak mampuan seorang kepala untuk memahami persoalan-persoalan pribadi seorang guru mungkin akan memperluas jarak antara pribadi guru dengan professinya. Kepala sekolah yang hanya tahu bahwa seorang guru harus hadir pada jam mengajar, selalu memposisikan guru sebagai bawahan yang harus patuh, hal ini akan membuat keadaan lebih jelek lagi.
Bentuk pendekatan lain yang lebih bernuansa tidak formal oleh seorang kepala pada guru sebagai mitra kerja mungkin akan memperlapang pemikiran dan perasaan guru. Kemampuan kepala menghargai eksistensi guru sebagai pribadi dan sebagai mitra kerja dan merupakan bagian terpenting dalam kerjasama tim mungkin akan menyebabkan gairah melaksanakan tugas keguruannya akan bertambah baik. Sebuah pepatah Arab yang berarti “belajarlah menjadi pendengar yang baik, sebagaimana juga kamu belajar sebagai pembicara yang baik “ perlu dilakukan oleh seorang atasan untuk lebih mengerti dengan persoalan pribadi guru. Tapi pendekatan seperti ini tidaklah sampai mengurangi ketegasan atasan kepada guru. Pendekatan perlu tapi ketegasan tetap dipertahan agar seorang guru yang berkeperibadian jelek tidak memfaatkan situasi ini untuk kepentingan dirinya sendiri, dan meninggalkan tugas dengan alasan yang dibuat-buat.

Sebagai mengakhiri tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan guru akan tetap menjadi kebutuhan untuk mencerdaskan anak bangsa. Sebagai pribadi seorang guru mempunyai banyak kelemahan dan dilemma, apakah sebagai individu, penyandang professi guru dan sebagai bagian anggota masyarakat. Hal ini lah sebenarnya yang dituju dalam tulisan ini, yaitu “ Professi Guru, sebuah Dilemma ?”.

Guru dengan segala kekurangannya harus dipandang dalam berbagai posisi sehingga tidak sampai mejatuhkan posisinya dimata berbagai pihak. Kekurangan guru tidak dikritik sebagai kekurangan ansich, tapi juga harus dilihat faktor-faktor penyebab kekurangan tersebut, mulai dari cara-cara dan kriteria pengangkatan guru, kesejahteraan, penghargaan eksistensi, jaminan kenaikan pangkat bagi yang berprestasi, sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakan tugas, pengawasan yang objektif, usaha-usaha peningkatan mutu guru, objek penambah penghasilan bagi oknum tertentu, tata cara mutasi, ketidak tegasan dan kerancuan cara pandang atasan pada tindakan-tindakan yang indisipliner. Apalagi kalau masyarakat telah pula mengintimidasi guru dengan keinginan-keinginan subjektif disertai dengan ancaman segala, tentu situasi ini jelas membuat guru gamang dalam berbuat. Mau memperturutkan keinginan subjektif masyarakat atau tetap mempertahan objektifitas. Tapi yang paling berpengaruh bagi terlaksananya tugas guru dengan baik adalah masalah kesejahteraan dan hal ini bukan hanya pada professi guru tapi juga propessi lain. Masalah kesejahteraan harus dipahami sebagai bukan upah atau sebagai belas kasih tapi lebih menghormati dan menghargai professi. Mendidik agar orang berilmu adalah dengan segudang ilmu. Mendidik agar orang bermoral adalah dengan tersenyum, berjiwa besar, dengan penuh rasa sayang yang terpancar dari lubuk hati yang dalam. Hal ini akan terujud bila yang berdiri didepan kelas adalah orang yang telah puas hati dan tenang pemikirannya. Kegelisahan bathinnya telah didengar oleh atasannya, semuanya telah terpenuhi dalam ukuran yang wajar dan seimbang. Hanya masyarakat yang mengerti, atasan yang arif dan kepribadian guru yang terpujilah yang dapat menyelesaikan dilemma professi guru yang dirasakan sekarang ini.

Terakhir, guru tidak hanya boleh berharap kesejahteraan dan penghargaan dari masyarakat, orang tua dan pemerintah, tapi juga harus mampu membuktikan dan menampilkan diri sebagai guru yang propessional, berkepribadian yang pantas diteladani, memiliki pemikiran dan ide yang sangat baik dan selalu berpihak kepada kebenaran, tidak goyang dalam prinsip, objektif dalam menilai, positif dalam berpikir. Sekarang masih banyak diantara guru yang kesejahteraannya telah baik namun tetap malas melaksanakan tugas sucinya. Professi guru bukan lahan mencari kekayaan, tapi lahan untuk berhadapan dengan kearifan dan kepribadian yang mulia. Dunia guru hanya menggeluti dunia ilmu, etika dan moral. Tugas guru adalah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak, dan mendidik mereka untuk bermoral dan menghormati kebenaran. Pergaulan antara guru adalah penuh dengan rasa saling menghargai dan menghormati, bukan saling menyalahkan. Melaksanakan tugas keguruan harus dengan niat baik dan ikhlas. Keberpihakan guru adalah pada kebenaran, kasih sayang guru adalah untuk semua anak didik, dan rapor guru ada di tangan Tuhan. Semoga !

© Drs. Najwan A. Shamad


0 Comments: