Melayu Seremonial

Rabu, 02 Desember 2009

Berbicara masalah Melayu di Riau adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Setiap kesempatan, deru dan suasana Melayu selalu mengemuka. Semua tempat seakan mengatakan bahwa ini adalah daerah Melayu, semua orang seakan mengatakan, aku adalah orang Melayu. Secara faktual pada setiap acara, mulai acara pesta perkawinan, menyambut pemimpin mulai dari tingkat bawah sampai atas, perayaan ulang tahun daerah tempatan, pesta rakyat, selalu bernuansa Melayu
, mulai dari pakaian, seni musik tradisi, penampilan silat, tepak sirih, payung kebesaran dan kata berpantun. Semua mengedepan secara nyata dan gembira di bawah senyum kepuasan dan kebangaan. Semua yang hadir kagum melihat penampilan-penampilan yang begitu percaya diri sebagai mewakili simbol ke-Melayu-an. Betapa gagahnya para pemimpin dan tokoh masyarakat memakai pakaian khas Melayu dengan songket yang berkilau mahal dengan warna yang tidak mungkin terbeli oleh masyarakat banyak.

Salah satu elemen acara yang selalu ada adalah menyambut para pemimpin dengan penampilan silat. Seperti diketahui, silat adalah salah satu bentuk seni bela diri, salah satu bentuk keahlian yang sejatinya dimiliki oleh setiap orang dalam menjaga dan mempertahankan diri dari orang-orang yang berniat jahat. Ketangkasan bersilat juga merupakan lambang keperkasaan dan kepahlawanan dalam membela kebenaran. Silat merupakan bela diri yang melahirkan sportifitas yang tinggi. Kalau dipikirkan secara dalam, kenapa harus silat ditampilkan ketika menyambut para pemimpin. Apa filosofi yang ingin diungkapkan. Apakah ingin menampilkan keperkasaan kita kepada pemimpin di tengah ketertinggalan kita. Ataukah ingin pamer kehebatan kepada masyarakat banyak, atau ingin memberi tahu kepada para pemimpin bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang pandai bersilat yang berarti juga masyarakat yang berani. Pertanyaan ini bila diajukan kepada perancang acara penyambutan, mungkin tidak dapat menjawab dengan pasti. Paling-paling akan dijawab sebagai “suatu kebiasaan” sejak dahulu. Pada hal, keahlian bela diri biasanya ditampilkan saat-saat menghadapi musuh atau orang-orang yang berniat jahat kepada kita, bukan untuk menerima pemimpin.

Begitu juga urgensi keberadaan laskar Melayu. Apakah benar-benar pengawal dan pengaman masyarakat dan budaya Melayu dari ancaman budaya asing yang selalu merusak, sehingga dengannya masyarakat dan budaya Melayu merasa aman di rumahnya sendiri. Ataukah reinkarnasi dari kultur budaya kerajaan yang memiliki hulubalang-hulubalang yang gagah perkasa dan siap membela keamanan raja dan kerajaan. Atau hanya sebagai penjelmaan dari satu bentuk eksistensi yang harus diakui keberadaannya di tengah masyarakat Melayu oleh masyarakat pendatang dimana lasykar Melayu tersebut lebih kurang sama dengan aparat keamanan yang ada.

Dari pemikiran-pemikiran di atas, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa pernik-pernik budaya Melayu lebih mengemuka pada acara-acara resmi yang nuansa seremonialnya sangat tinggi. Kita tahu, setiap acara penyambutan, semua elemen pandangan harus disulap menjadi megah dan meriah, semua yang merusak pandangan harus ditutupi, semua jerawat kehidupan harus dibedaki, semua lobang-lobang perjalanan hidup, saat itu harus ditimbun dan dihilangkan. Segala sesuatu dikondisikan menjadi baik dan sempurna. Setiap elemen perilaku saat itu diformat menjadi ramah dan terenyum, air mata dikeringkan dulu. Kemiskinan sembako ditutupi dengan acara makan bersama ( bajambau istilah Kampar ). Pada setiap penyambutan, kita tidak mau menampilkan jati diri yang sebenarnya, sebagai kristalisasi nilai Melayu yang telah menyatu dalam nafas kehidupan sehari-hari, tapi kita ingin memanipulasi keadaan menjadi gemah ripah, sebagai penampilan yang tidak jujur yang sebenarnya berlawanan dengan nilai-nilai budaya Melayu itu sendiri. Amat disayangkan, semua kita seakan telah sepakat, bahwa acara penyambutan para pemimpin inilah saat-saat yang tepat menampilkan budaya Melayu yang sebenarnya.

Dilain pihak dari tradisi-tradisi penyambutan, pernik-pernik budaya Melayu seakan hanya untuk diperlihatkan kepada para pemimpin yang datang, bukan untuk dirasakan oleh masyarakat banyak. Seakan-akan tradisi Melayu yang memiliki nilai budaya kehidupan yang jernih, lurus, jujur dan islami harus ditampilkan dengan pernik-pernik budaya penampilan yang direkayasa. Apakah budaya Melayu hanya ada dan untuk kepentingan seremonial?.

Dalam setiap acara penyambutan, para pemimpin seakan memberi peluang kepada panitia tempatan untuk membelokkan nilai budaya yang sakral ke nilai seremonial yang dianggap sebagai penghormatan dari masyarakat. Para perancang acara penyambutan bebas untuk mengaktualisasikan nilai Melayu yang substansial ke bentuk farsial dan artifisial. Nilai-nilai budaya Melayu yang sebenarnya membentuk perilaku individu serasi dan bermakna bagi kehidupan sosial, kini diformat untuk pemuliaan semu kepada pemimpin dengan tujuan untuk menunjukkan, “inilah kami, masyarakat Melayu yang pandai menghormati tamu”. Inilah kami yang telah berhasil menciptakan kehidupan sosial yang bersatu penuh dengan nilai-nilai budaya.

Kehebatan putera Melayu sejatinya ditampilkan untuk memformat diri demi memiliki sumber daya manusia yang berkwalitas dalam mengurus segala persoalan kehidupan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya pandai menuntut, tapi juga mampu membuktikan. Anak Melayu harus menginstal keperkasaan Hang Tuah ke dalam dirinya untuk menjalani kehidupan, tidak cengeng, dan tidak mudah merajuk bila tuntutannya tidak dikabulkan. Mampu tampil mandiri dengan keadaan apa adanya, dan tidak berpikiran lokal.

Kehebatan budaya Melayu bukan hanya untuk kepentingan seremonial belaka, tapi ada dan menyatu dalam denyut kehidupan keseharian masyarakat berbudaya. Tidak hanya untuk para pemimpin dan tokoh terpandang, tapi juga untuk seluruh orang yang hidup di bumi Melayu. Kehebatan budaya Melayu tidak untuk membuat batas antara yang “punya” dengan yang “lara”, dan tidak pula pembeda antara golongan “berkelas” dan “masyarakat banyak”. Begitu juga budaya Melayu bukan untuk mengokohkan jabatan dan kepentingan, tapi untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan dalam rotasi global yang setara.

Yang amat terhormat, Datuk DR.Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu”, mengatakan : Adat hidup terpandang: kasih tidak pandang memandang, sayang tidak memilih orang, baiknya sama muka belakang, berbudi tidak bilang membilang, eloknya tidak menjadi hutang, hatinya rendah tiada berpantang. Butir-butir budaya Melayu ini harus ada pada setiap masyarakat yang mengaku Melayu dan Islam di mana dan kapan saja. Mungkinkah ?

© Drs. Najwan A. Shamad





...Baca selengkapnya...

Bingung

Oleh : Najwan A. Shamad.

Dalam perjalanan waktu yang kian menyempit
tertatih-tatih melompati kepastian yang kabur
untuk segeming asa yang menggelembung
Lobang yang menganga dibawah jalan
Adalah bumerang yang sedang melayang
semua tak terkepalakan oleh mereka yang sedang berburu
oleh mereka yang berpacu dalam waktu yang melingkar
oleh mereka yang lapar dengan tahta buwana

Setiap gerak mereka lumuri dengan janji manis
hambar menyesakkan dada
Setiap kata yang terucap adalah harapan
mempesona kelaparan dan kekeringan logika
Setiap denyut darah adalah menuju ke tangga tahta kencana

Bingung aku memperhatikan orang yang berjuang
kursi adalah segala-galanya,
untuk sukses, dengan coin menyelamatkan
bangsa yang tak kunjung pintar
mereka melangkah pasti

Aku melihat mereka terbawa arus ambisi dengan baju demokrasi
Direlakan kecelakaan hidup demi keselamatan masa depan
Air di tangan dia tumpahkan
Demi menampung hujan mimpi yang masih teka teki

Aku mendengar orang-orang yang hanya punya mulut dan lidah
menyemai biji janji di tanah yang bingung
Aku mendengar anak gembala menasehati tuannya
Aku melihat orang rakus membagi-bagi uang kepada yang tergadai harga dirinya
Aku menonton orang lumpuh mengajar tupai berlari

Bingung
Bingung
Bingung aku dengan sejuta pelangi tanya
Mau dibawa kemana biduk bocor ini oleh gembala yang tak pandai berenang
Kenapa angin yang bening tak mau menjawab
pohon yang menari tak mau bersuara
menyapa,
menyapa aku yang terporosok
dalam kabut bingung yang kusut

( Kuok, 160903)




...Baca selengkapnya...